Biarkan Dia duduk termenung sepi,
merasakan hembusan angin yang menerpa wajahnya. Biarkan Dia dengan sgala
pemikirannya terbang melayang, karena hanya dengan cara itu Dia mampu melupakan
debu itu. Bagi Dia debu itu yang telah mengubah apa yang dilihat dari sudut
pandangnya.
“arrrghh”
“Biarkan aku sendiri “
“Jangan ganggu ,pergiii“
“Mengapa engkau masih saja terus disini?“
“Angin bawalah Debu pergi “
Dia terus saja sepeti ini. Bertanya
tanpa menjawab. Dan setiap kali Dia ingin menjawab, Entah kenapa terus saja
jawaban itu terus memudar. Jawaban yang tak kunjung datang membuat Dia tertegun
sepi di sudut kamar tanpa pengharapan di atas pembaringan. Hanya melihat
sekeliling kamarnya dengan tatapan kosong. Dengan ditemani pena Dia goreskan
garis – garis tak tentu arah. Rangkaian kata sederhana terkadang begitu saja
tertulis tanpa bisa terbaca. Lewat gelap malam Dia rasakan dingin di pipinya.
Suara detikan jarum jam bagai musik yang mengiri ditengah kesendirian. Dia
berharap lebih cepat pula matanya terpejam. Agar dalam bunga tidurnya, Dia
bertemu sosok yang Dia rindukan, yang slalu menjadi inspirasinya lewat bahasa
tubuh yang slalu Dia peragakan di kala waktu itu. Tutur bahasa yang mengalun
membawa ketenangan. Semua hanya sebagian kenangan dibenaknya yang Dia sebut sebagai
pelipur lara. Sedikit senyum terbaca di rona wajahnya, walau dalam lubuk
hatinya Dia ingin terus berlari.
“ Gusti ..... kuatkan hambamu ini “
“ Hambamu ini masih saja teringan debu itu “
“ Biarkan hal itu pergi, Gusti “
“ Biarkan pelipur lara itu terus disini “
“ Datangkanlah “
“ Duh... Gusti “
Terus saja Dia berharap seperti itu
setiap kali teringat debu itu. Ada saja hal kecil yang terus saja yang
mengingatkannya walau sejenak Dia telah bisa melupakannya. Namun, tidak untuk
pelipur laranya.
Kelam kelabu menyertai langkah Dia.
Walau terang Dia masih bis merasakan malam. Walau seorang berkata, Dia masih
saja memikirkannya. Walau tawa menemani Dia masih saja menangis dalam hati.
Fikirnya Dia ingin berbagi, tapi angan itu, dan pada akhirnya pula Dia masih
saja menyimpannya sendiri. Bukan tak mau berbagi, hanya tak ingin menjadi beban
orang lain. Walau Dia rasa tak sanggup berdiri tegak. Dia hanya mencoba kuat
untuk dirinya sendiri dan orang di sekelilingnya.
Dia ingin ada angin yang menyapu debu
itu. “angin cepatlah datang dan bawa debu itu pergi“.
Hiasan langit tlah berganti sinar
terang. Dengan titik – titik tak beraturan denagn sgala bentuk abstraknya.
Terduduk di atas pembaringan, mencoba berkonsentrasi dengan materi di esok
hari. Ibu datang menghampiri mencoba memecah keheningan. Ingin Dia sembunyika
sgala kegundahan yang terasa, kebimbangan yang merasuk sukma. Namun, ketika
melihat sorot matanya. Dia tak kuasa. Air matanya begitu saja turun. Seakan ada
rasa yang tertekan dalam batin. Dia hanya bisa berpaling. Menyembunyikan. Tak
lagi diperdulikannya materi, Dia hanya mencoba untuk berhenti menangis. “
cengeng “, desaknya. “ sabar ya Nok “, mencoba menguatkan putrinya. Belaian
lembut jemari, gerak berbahasa. Tak ada penjelasan panjang lebar. Petuah ikhlas
dan sabar masih mendengung di telinganya.
“ apa yang terjadi ya Allah “
“ kenapa semua begitu samar “
“ kenapa tanpa penjelasan“
“ mengapa tak seperti biasanya “
“ mengapa ada garis wajah yang berubah “
“ mengapa hanya sepi yang tampak ya Allah “
Pertanyaan itu akhirnya menguap. Tak
ada rasa tuk menanyakan semuanya. Gamang.
Pikirnya jika Dia bertanya hanya akan memperkeruh saja. Sebelum keluar,
Ibu hanya berpesan tuk fokus kepada pelajaran dan menjaga kesehatan.
Mencoba
meraih materi yang tadi tertinggal. Percuma saja. Sesekali Dia masih saja
meneteskan air mata. Pasrah akan nasib
ulangannya besok pagi. Ia terlelap dalam isak tangisnya, menbiarkan bukunya
disana – sini. Di saat seperti inilah Dia rindu kenangan – kenangan akan
dirinya dulu. Ketika seorang inspirasinya masih disini. Memberi motivasi dan
secerca harapan – harapan yang membumbung tinggi. Harapan yang tak luntur,
mencoba meraih asa melangkah bersama meraih mimpi. Impian yang slalu ingin
dituju. Inspiratornya yang slalu menuntun Dia. Walau inspiratornya tak tahu
makna kehadirannya bagi Dia. Tapi, sudahlah semua itu kenangan – kenangan masa
lalu. Masa PUTIH BIRU. Masa dalam pencarian.
Mega
merah menghiasi ufuk timur. Tanpa ragu menampakkan diri. Disambut tetarian
dedaunan dan kicauan. Begitu menenangkan. Perasaannya sejanak tenang. Matanya
masih sembab, tertinggal bekas. Malas masih mengikat. Terbesit keinginan untul
meliburkan diri, tapi hari – hari berikutnya datang bukan untuk dihindari,
tetapi untuk dilalui. Walau angin berhembus kencang, tohh, pada akhirnya akan
kembali tenang. Ingin Dia seperti batu karang yang tetap kokoh berdiri walau
tersapu ombak. Tak ingin Dia seperti pasir putih di tepian yang terbawa air.
Melangkah
kaki dengan semangat, walau dipaksakan. Dia menuju gedung gudang ilmu. Mencoba
mengisi teka – teki tentang teori. Melakoni rencana Bapak Ibu Guru mengisi
kotak – kotak denagn deret angka. Dia mencoba mengisi titik –titik mengandalkan
memori yang masih tertinggal dan rumus pengarangan.
Suara
sirine datang mengakhiri. Diraihnya tas dan bergegas untuk pulang. Terik panas
menyapa di siang hari. Air menjadi teman yang dibutuhkannya saat ini. Lewat
tetesannya Dia berharap untuk melepas dahaga. Walau langkah sudah dipercepat
tak kunjung juga Dia tiba. Barapnya Dia bisa melepas penat setiba di rumah.
Belum selesai Dia berangan, getar handphone terasa. Diraihnya saku rok, nama
Ibu yang terpanjang. Seakan sudah mengetahui isi pesan sebelum membacanya. Dan
ternyata benar. Dia nanti akan merasa sepi lagi, ditinggal sendiri. Tak mampu
menolak keadaan.
Hanya rangkaian kata itu yang terkirim
di nomer Ibu. Pupus sudah harapan untuk bersama. Dengan segera pemikirannya
bercabang – cabang. Namun, dengan sigap Dia potong cabang itu.
Langkah
kaki yang terayun lesu, berat untuk melangkah. Deru mesin dari robot besi, tawa
canda teman sebaya, hijau kuning merah lampu menyala, deretan gedung.
Yachh,,,,,,, itulah foto hasil lensa retina yang terekam sepanjang jalan aspal
hitam.
Rerumputan
yang berdesak – desakan diterpa angin, berbisik dan menertawakannya. “ sssttt
diam “, batinnya. Segera Dia lepaskan beban yang menyangkut di pundak.
Menemukan dirinya sendiri. Terbaring Dia berselimut seragam. Dunia mimpi seakan
menarik Dia untuk disinggahi. Berjalan Dia dalam bunga tidurnya, langkah kaki
begitu saja terbawa alur. Sorot matanya terus saja mencari, tak tahu dimana
untuk dapat ditemui.
Sekali
lagi, Dia menyadari akan suatu hal. Debu terus saja membuntuti. Dan debu masih
saja tersimpan rapi. Satu hal ynag Dia sadari saat ini. Debu telah mengambil
keeradaan orang – orang disekelilingnya. Dia sendiri tak tahu apa arti debu.
Hanya yang etrambil yang mengetahui. Sedang dimanapun berada, kini, Dia
nyatanya sendiri, mencari makna keberadaan debu. Berlari – lari dalam angan,
hanya itu yang terlintas.
Terus
saja Dia menjalani seperti ini. Bukan untuk bebrapa menit, minggu – minggu,
bulan – bulan dengan lapang dada menerima kehadirannya. Debu masih dalam tak
berarti. Tak ada kamus yang seperti diingi. Bukan berarti tak ada yang tepat untuk
mewakili. Tetapi belum bisa dicari untuk ditemui.
Angin
segar juga tak kunjung menyapa debu, mengajak debu. Debu juga tak tahu apa
dirinya akan meninggalkan Dia sendiri. Apa debu masih betah disini ? hanya Sang Ilahi ynag mampu
menjawabnya.
Harapa – harapan terus saja
berdatangan. Doa – doa tak berhenti mengalir. Debu dan kesendirian tetap betah
menemani. Angin pun tak kunjung singgah untuk bertamu. Memori – memori silih
berganti menyapa. Candatawa itulah bumbu. Asam, manis, pahit itulah kehidupan.
Dan
inilah perjalanan.